No title [1]
Keempat
gadis itu menatap ke langit mendung di atas mereka, sama sekali tidak ada
kecerahan di atas sana. Membuat salah satu dari mereka menggeram kesal di
buatnya.
“Apa yang akan kita
lakukan? Apa kita akan tetap di sini? Atau berlari dengan cepat sebelum hujan
deras datang” kesalnya, menatap ketiga sahabatnya yang masih bengong di tempat.
“Aku lebih suka pilihan ke
dua” jawab gadis bermata sipit, berwajah mulus mirip orang cina. Lalu ia
menoleh ke arah gadis berambut coklat bergelombang, wajahnya yang lumayan tirus
terlihat dingin namun matanya memancarkan kehangatan. Ia menatap tajam langit
tak berawan.
“Kurasa kita memang harus
berlari” ujarnya, sontak membuat ketiga temannya mengangguk. Gadis bersurai
hitam legam yang berdiri bersandar di tembok hanya menghela napas malas.
“Itu
memang pilihan yang tepat, baiklah dalam hitungan ketiga kita lari” gadis yang
pertama membuka pembicaraan tadi memberi aba-aba ke teman-temannya.
“Satu… “ mereka saling
menatap satu sama lain
…dua.. “ mata keempat
gadis itu mulai terfokus ke arah jalan yang akan mereka lewati sebentar lagi,
berharap ada tempat berteduh jika hujan tiba-tiba datang.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Matahari bangkit dari tidurnya dengan tenang, tanpa diselingi
hujan deras seperti saat ia akan tertidur kemarin malam.
Mouris Vleriensia, gadis berusia
17 tahun yang beberapa minggu lalu baru menginjak bangku kelas XI SMA terbangun
dari tidurnya ketika menyadari ada sesuatu yang berat menindihi tubuh kecilnya.
Mouris mencoba bangkit dari tidurnya, tapi sesuatu yang menindihinya ini
terlalu berat untuk ia singkirkan.
“UAAAAAAAAAAAA!!!”
Mouris berteriak sangat keras, ketika sesuatu yang lembut menyentuh telapak
kakinya. Membuat Mouris menggeliat geli tanpa henti, rasanya ingin mati
mengingat badannya di tindihi dan tak bisa menarik kakinya menjauh dari sesuatu
yang sumpah demi apapun sangat membuatnya bergidik geli.
“Hhaha..
hentikan itu Olive! Kurasa Rie merasa sangat frustasi dengan apa yang ia
rasakan saat ini” wajahnya yang terlihat
dingin namun hangat itu menatap sesosok gadis dengan wajah bangun tidurnya yang
berantakan sedang ia tindihi.
“Bukankah
memang itu tujuanmu, Greis?” sindir gadis berambut hitam legam dengan wajahnya
yang terlihat dewasa—berkebalikan dengan usianya. Greis yang masih tetap di posisinya itu
menatap Olive yang berjalan mendekati gorden putih yang terletak di samping
kanan kamar, mencoba mengundang sinar terang sang matahari masuk ke kamar gadis
pemalas yang sekarang masih berada di posisi yang mengenaskan di atas kasur.
“Pftt.. aku hanya mencoba membuat
gadis sialan ini menangis…” senyumnya mengembang, saat melihat Mouris yang
berada di bawah tubuhnya menatap dirinya dingin dengan napas yang
terengah-engah.
“…tapi entah kenapa, gadis ini susah sekali di kalahkan”
wajahnya yang tadi menunjukkan senyum cerah dalam sekejap berubah kesal.
“Hola Rie.. selamat pagi!! Cepatlah bangun, aku yakin
sarapan enak yang di hidangkan ibu mu sudah menunggu untuk di makan” ucap
Greis—ia berusaha mengejek Mouris. Dengan nyengir lebar, ia menuruni tubuh Mouris
namun apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar akal.
“Kemari kau sepupu SIALAN!” Mouris menjambak rambut
bergelombang Greis dengan membabi buta, membuat Olive yang berdiri di samping
dinding kaca milik Mouris menelan ludah—bergidik ngeri saat mendengar teriakkan
Greis yang terdengar menyakitkan.
“Sudah
kuduga akan berakhir seperti ini” lirihnya, menatap Greis iba.
“Apa yang sedang terja—“
Olive menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar, menunjukkan sesosok ibu Mouris
yang terkejut dengan kondisi kamar anaknya yang kacau.
TBC